Tawadhu

Dua sifat tawadhu yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Muhammad Farid Zia
Cerita kehidupanku

--

Photo by Element5 Digital

Dalam hidup yang singkat ini manusia dituntut untuk terus belajar dan berkembang dalam hidupnya. Tatkala masih bayi awalnya mungkin hanya bisa berucap “oek oek oek” saja sampai pada akhirnya ia tumbuh menjadi anak-anak yang sudah bisa berjalan sendiri, berbicara bahkan sekarang ia sudah mulai penasaran dengan berbagai hal yang telah ia temui di bumi yang bulat ini.

Mungkin sebagian besar dari kita pun dulu tatkala masih anak-anak pernah bertanya hal-hal semacam ini “Itu bulannya kenapa jalan terus mengikuti, ya?” ketika sedang diajak jalan malam oleh kedua orang tua. Tentunya masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lugu yang secara tak sadar sering kita tanyakan ketika masih anak-anak dulu. Pada umumnya anak-anak tidak akan malu untuk bertanya atau belajar ketika memang dia tidak mengetahui maksud atau arti dari hal yang ia ingin ketahui. Mereka akan dengan senang hati untuk mulai belajar dari awal.

Harusnya ketika sudah tumbuh dewasa pun prinsip dan pola pikir seperti ini harus tetap tertancap dalam sanubari kita. Yang namanya mencari ilmu itu tidak kenal umur, status pendidikan dan lain sebagainya. Jangan batasi diri sendiri untuk menggali ilmu. Galilah dan carilah ilmu tersebut dari orang-orang yang kita rasa memang pantas untuk kita ambil ilmunya.

Jangan hanya karena misalnya gelar kita sudah sampai ES3, lantas kemudian kita menutup kesempatan untuk belajar dari orang yang misalnya secara strata pendidikan masih berada di bawah kita. Tawadhu ketika menuntut ilmu itu sangat penting sekali karena ilmu tentu tidak akan masuk ke hati orang yang sombong lagi congkak.

Saya pribadi sudah banyak melihat dan mendengar cerita ustadz-ustadz yang tidak malu untuk duduk dan kemudian mencatat setiap ilmu atau faedah dari kajian ustadz lainnya. Padahal kalo kita tilik lagi ustadz tersebut gelar pendidikannya sudah sangat tinggi kemudian dari lulusan kampus bergengsi untuk bidang ilmu agama di timur tengah sana, ketika lulus pun mendapatkan predikat summa cum laude. Namun, di depan ilmu beliau tetap tawadhu dan tidak malu untuk belajar kembali dari awal.

Inilah salah satu contoh baik yang bisa kita semua teladani, bahwa usia ataupun strata pendidikan itu tidak bisa kita jadikan sebagai penghalang untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya dari orang lain yang tentu memang secara keilmuan pantas untuk diambil ilmunya.

Salah satu sifat tawadhu lainnya yang bisa kita terapkan dalam hidup adalah tidak malu untuk mengatakan “saya tidak tahu” jika memang kita tidak mengetahui tentang jawaban atau hukum dari apa yang ditanyakan kepada kita. Sehingga setidaknya kita bisa terbebas dari sifat “sok tau” dalam diri.

Ketika seseorang asal-asalan menjawab pertanyaan orang lain padahal dia sendiri pun sebenarnya tidak mempunyai ilmunya maka sudah barang tentu mudharat yang ditimbulkan akan lebih banyak daripada kebaikan yang diberikan untuk orang lain, lebih-lebih ketika asal saja menjawab pertanyaan seputar hukum dalam agama.

Ulama atau ustadz saja sangat berhati-hati sekali ketika memberikan jawaban, lantas ketika ada orang yang masih belajar, tapi dengan mudahnya memberikan jawaban atau fatwa ke orang lain ya siap-siap saja melihat kerusakan karena sudah berani berfatwa tanpa dasar ilmu.

Ditulis di suatu pulau yang indah dan dijuluki Pulau Seribu Masjid, Jum’at 16 Ramadhan, 1444 H.

--

--

Muhammad Farid Zia
Cerita kehidupanku

🇮🇩 • /Frən(t) ˈend Software Engineer. Blog Writer. Likes to write about personal opinions.